Sekolah merupakan tempat belajar yang menyenangkan bagi murid. Sekolah yang menyenangkan dan berpihak pada murid akan terwujud jika di dalamnya menerapkan Budaya Positif yang sesuai dengan Modul 1.4 ini. Budaya positif di sekolah adalah nilai-nilai positif yang diterapkan di sekolah untuk menumbuhkan motivasi intrinsik pada diri siswa yang bertanggung jawab dan berbudi pekerti yang luhur sehingga terwujud Profil Pelajar Pancasila. Mutu sekolah dapat dilihat dari budaya positif yang dimiliki warga sekolah.
Budaya positif terlihat dari sikap keseharian seluruh elemen sekolah yang berkembang pada murid. Budaya positif yang ada di sekolah akan membantu pencapaian visi sekolah. Untuk mewujudkan visi sekolah, peran guru sebagai ujung tombak kualitas pendidikan di sekolah memegang peranan penting. Begitu pula dengan terwujudnya Profil Pelajar Pancasila. Guru berperan sebagai penuntun segala kodrat pada anak yang selalu berpihak pada mereka demi kebahagiaan dan merdeka belajar.
Guru Penggerak berperan sebagai agen perubahan dalam sebuah ekosistem pendidikan yang berpihak pada murid untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang siswa secara holistik terus berupaya dalam menerapkan budaya positif. Guru Penggerak berkolaborasi dengan seluruh komponen sekolah untuk mewujudkan visi sekolah melalui pendekatan Inkuiri Apresiatif dengan tahapan BAGJA.
Menciptakan budaya positif di sekolah dapat dilakukan dengan cara menerapkan pembiasaan-pembiasaan yang positif, disiplin positif dengan ilmu yang didapatkan dalam Pendidikan Guru Penggerak mulai Modul 1.1. sampai dengan saat ini Modul 1.4. Selain itu, budaya positif dapat terwujud dari keyakinan kelas, posisi kontrol restitusi, dan tahapan pada segitiga restitusi. Hasil keyakinan kelas/ sekolah diwujudkan dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab oleh seluruh warga kelas/ sekolah.
Modul 1.1, Modul 1.2, dan Modul 1.3 sangat berkaitan dengan budaya positif di Modul 1.4. Keterkaitan Pemikiran KHD akan diwujudkan dengan peran dan nilai Guru Penggerak yang akan menciptakan visi sekolah melalui tahapan BAGJA. Pelaksanaan visi ini harus disertai dengan budaya positif. Guru-guru di sekolah yang memahami pemikiran dari KHD, akan mampu menciptakan budaya positif dan menuntun murid yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Guru Penggerak berperan sebagai teladan dan membangun komunikasi di sekolah, sehingga rekan guru akan meneladani kebiasaan positif yang dilakukan oleh Guru Penggerak.
DISIPLIN POSITIF
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
TEORI MOTIVASI
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:
- Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Motivasi ini bersifat eksternal. Orang yang memiliki motivasi ini akan menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan.
- Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Motivasi ini bersifat eksternal. Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian, hadiah, pengakuan, atau imbalan dari orang lain.
- Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi ini bersifat internal. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut.
HUKUMAN DAN PENGHARGAAN
Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata. Alfie Kohn mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.
POSISI KONTROL GURU
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini.
Berikut ini merupakan program disiplin positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.
- Penghukum
- Pembuat rasa bersalah
- Teman
- Pemantau
- Manajer
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu:
- Kebutuhan Bertahan Hidup
- Kasih sayang dan Rasa Diterima (Kebutuhan untuk Diterima)
- Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
- Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
- Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
KEYAKINAN KELAS
Pembentukan keyakinan kelas:
- Bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
- Berupa pernyataan-pernyataan universal.
- Pernyataan keyakinan kelas dibuat dalam bentuk positif.
- Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
- Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
- Semua warga kelas ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
- Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
SEGITIGA RESTITUSI
Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, (2001) telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama segitiga restitusi/ restitution triangle.
Proses tiga tahapan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip utama dari Teori Kontrol, yaitu:
- Menstabilkan identitas. Bagian ini bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan.
- Validasi tindakan yang salah. Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
- Menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?
- Untuk menciptakan budaya positif, maka guru harus mampu menumbuhkan disiplin positif pada murid dari motivasi intrinsiknya, bukan melalui hukuman atau penghargaan.
- Apabila murid yang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan atau melanggar peraturan, hal tersebut sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Maka guru harus mengambil peran kontrol sebagai manajer, agar dapat membantu murid untuk mendapatkan solusi atas permasalahannya melalui langkah segitiga restitusi.
Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?
Membuat keyakinan kelas dan menyelesaikan masalah dengan segitiga restitusi merupakan pengalaman baru bagi saya sebagai seorang guru. Pemberian hukuman dulu pernah saya lakukan. Tentunya hal ini bertentangan dengan modul Budaya Positif. Penerapan segitiga restitusi pada murid yang melanggar keyakinan kelas/ sekolah dapat membuat murid lebih terbuka menceritakan permasalahan kepada saya. Mereka juga lebih percaya diri dan disiplin dalam menjalankan nilai-nilai kebajikan yang telah mereka yakini.
Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?
Saya merasa bersemangat dan termotivasi untuk selalu menerapkan budaya positif di kelas/ sekolah. Saya juga melakukan kegiatan berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan rekan guru di sekolah terkait penerapan budaya positif. Saya merasa lebih bisa mengontrol emosi diri dalam menghadapi murid yang melanggar keyakinan kelas.
Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?
Setelah menerapkan konsep-konsep budaya positif dalam pembelajaran, hal yang sudah baik menurut saya adalah murid sudah mulai memunculkan motivasi intrinsik untuk melaksanakan budaya positif sesuai dengan nilai-nilai kebajikan yang mereka yakini.
Yang perlu diperbaiki adalah metode atau langkah-langkah yang saya lakukan dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan kepada murid, agar mereka melakukan disiplin positif untuk menghargai dirinya sendiri dan orang lain, bukan untuk menghindari hukuman atau mendapatkan suatu penghargaan.
Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu?
Sebelum mempelajari modul ini, saya menempatkan diri dengan posisi kontrol sebagai pemantau. Posisi saya sebagai pemantau artinya saya mengawasi perilaku murid-murid saya berdasarkan pada peraturan atau konsekuensi. Dengan posisi ini, saya menunjukkan tanggung jawab dalam mengontrol murid. Perasaan saya waktu itu merasa sudah tepat dalam menerapkan disiplin dan peraturan. Murid memahami konsekuensi jika melanggar peraturan. Namun hal ini membuat murid-murid merasa tidak nyaman. Saya merasa adanya jarak antara saya dengan murid saya.
Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?
Setelah mempelajari modul 1.4 Budaya Positif, saya menempatkan diri dengan posisi kontrol sebagai manajer dalam menyelesaikan masalah murid. Dengan posisi ini, saya dapat membimbing murid mempertanggungjawabkan perilakunya dan mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Sekarang saya merasa lebih bisa mengontrol emosi ketika menghadapi murid yang melakukan kesalahan atau melanggar keyakinan sekolah/ kelas.
Perbedaan sebelum dan setelah mempelajari modul ini adalah dari segi pengaturan emosi dan respon murid yang lebih terbuka.
Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktikkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?
Dalam mengatasi pemasalahan murid, secara tidak sadar saya sudah menerapkan langkah-langkah segitiga restitusi, namun dulu saya belum memahami bahwa yang saya lakukan ini adalah restitusi.
Tahapan yang saya praktikkan yaitu dalam menstabilkan identitas dan memvalidasi tindakan yang salah. Saya belum melakukan tahapan “menanyakan keyakinan” yang telah disepakati dan menanyakan keinginan murid seperti apa.
Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?
Hal-hal lain yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah yaitu bagaimana menciptakan kerjasama yang baik antara murid, guru, rekan sejawat, pemangku kepentingan, dan orang tua/ wali murid, sehingga budaya positif ini tidak hanya dijalankan dalam kelas saya saja, tetapi di sekolah, di rumah, dan di lingkungan masyarakat. Selain itu, semua pihak harus konsisten dalam melakukannya, agar budaya positif tidak berlangsung saat ini saja, namun dilakukan secara berkelanjutan.
Tugas Koneksi Antarmateri Modul 1.4 Budaya Positif juga dapat dibaca dalam flipbook saya berikut ini: Flipbook Budaya Positif
Rancangan Aksi Nyata Modul 1.4 Budaya Positif juga dapat dibaca dalam flipbook saya berikut ini: Flipbook Rancangan Aksi Nyata
#gurupenggerak
#calongurupenggerakangkatan5
#cgpkabupatentuban
#maulidiyarahmaprastiti
0 comments: